Wajah Kota terus Menyiksa

Ibarat wajah manusia, jakarta tadinya adalah wajah yang bersih, murni, dan alami. Dimana kehidupan ibu pertiwa senantiasa asri dan damai terkendali. Tahun demi tahun berubah wajah ibu pertiwi terus ditaburi beberapa bedak merek ternama. Biar cantik kata sang penguasa Lalu, tuntutan jaman terus menggila, wajah itu harus mengikuti standarisasi kecantikan dunia. Penuh kemewahan, keglamoran, kemunafikan, dan pesta pora. Hingga wajah sang Jakarta jauh dari aslinnya. Wajah yang cantik bagi para raja, tetapi tidak untuk para jelata.

Wajah Jakarta semakin tua. Semua akibat dari setiap sebab sudah cukup terlihat. Jarang kita temui lagi sumber air yang bersih. Sungai penuh sampah-sampah bermacam jenis. Laut penuh kontaminasi zat-zat perusak dari hasi industri. Udara sudah cukup di taburi gas-gas beracun yang siap menginfeksi paragenerasi muda. Ruang kota sesak. Gedung-gedung berhamburan, kendaraan-kendaraan dengan emisinya tumpah-riuh di jalanan. Itu semua terjadi karena konsep progresivitas yang menafikan konsep kausalitas. Apa arti dari sebuah kemegahan megapoitan dan industralisasi di berbagai bidang, namun tidak diikuti keinsafan pemeliharaan alam?

Pemerintah adalah suatu jalan keluar untuk menghentikan sebuah proses penghancuran ini. Dengan segala wewengannya pemerintah dapat mengurangi segala dampak yang kita rasakan sekarang dan anak-cucu kia nanti. Mungkin jalurnya dengan merestrukturisasi aspek poitik, hukum. sosial, dan budaya yang peduli terhadap lingkungan. Dan semua pihak yang terkait pun harus bertipe ekoseksual, yaitu berwawasan lingkungan.

Setiap perjalanan jauh memerlukan langkah awal. Dan langkah awal pasti bersumber dari kesadaran diri sendiri. Kita sebagai mahasiswa, yaitu kaum perubah.harus mengambil langkah awal pasti untuk menggerakan perubahan ini. Perubahan dimana alam akan bersahabat lagi dengan manusia, bencana tak datang lagi melanda, dan kesejahteraan ekonomi dapat teraih tanpa keserakahan. Tugas kita semua untuk melakukannya, ya tugas MAHASISWA para manusia muda...

(Indra Wahyu Pratama)

Read More....

Neoliberalisme:Keadilan Sosial Bagi Seluruh Raksasa Asing

(Indra W. Pratama)

At least since 1970s, neoliberalism has spread throughout much of the world, and has become the dominant "ideology" behind development policies in many countries, including Indonesia today. The main argument of neoliberalism is that we should let the free market forces guiding all of human action. It argues that state intervention in the economy must be minimized so that the state can diminish its obligation to provide for the welfare of the citizen.

(“Monthly Discussion: Neoliberalism, The State, and the Citizen.” http://interseksi.org 2007)


Globalisasi seperti orang awam kebanyakan tahu adalah suatu keadaan dunia dimana batasan-batasan negara hilang yang membuat lalu lintas perdagangan dan informasi antar negara berjalan mudah. Globalisasi diindikasikan dan diidentikan dengan free market, yang membuat sebagian orang didunia ini tersenyum dan sebagian lagi menjerit histeris bila memndengarnya. Free market sendiri adalah sebuah manifestasi dari suatu paham yang bernama neoliberalisme. Neoliberalisme adalah suatu kenyataan dalam dunia modern ini yang mau tidak mau atau suka tidak suka diterima oleh suatu negara.

Seorang peneliti Indonesia yang bernama Yanuar Nugroho mengatakan: ”Dunia ini, dalam arti tertentu, kini menjadi seragam akibat dilibas badai topan budaya dan ekonomi neoliberalis yang meniup habis seluruh keragaman hidup bangsa manusia.” Kita selaku bangsa indonesia secara tak sadar sudah tergenggam oleh tangan perusahaan-perusahaan asing dan membawa kita kedalam suatu persamaan budaya hasil neoliberalisme. Proses ini sudah terjadi bertahun-tahun, bahkan sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Kita dibawa atau diajak untuk memperkuat ekonomi atau paling tidak menjaga eksistensi perusahaan-perusahaan tersebut bergaung di negara Indonesia.

Kita ambil contoh restoran dari Amerika Serikat bernama Mcdonald yang sekarang ini sudah menjadi salah satu perusahaan raksaksa di dunia dan merupakan perusahaan restoran cepat saji terkaya di dunia.. Secara sadar atau tidak sadar,dari pertama kemunculannya, bangsa indonesia diajak untuk menganggap makanan itu sebagai budaya kulinernya. Atau secara tidak langsung kita dibawa kepada sebuah persamaan budaya global bersama negara-negara lain, baik negara kaya, berkembang, maupun miskin, untuk “ramai-ramai” memakan hidangan Mcdonald sesering mungkin.

Penanaman budaya ini tidak “sekali jadi”. Tetapi melalui proses-proses yang bisa dibilang hebat. Mcdonald melakukan pedekatan pada anak-anak kecil—hingga mereka tidak bisa lepas pikirannya dengan restoran itu—dengan berbagai macam promosi seperti iklan, paket mainan, dan acara ulah tahun. Yang akhirnya mereka merengek mengajak kluarganya untuk pergi makan di restoran itu. Lalu mereka tidak dapat lepas sampai dewasa untuk mengkonsumsi Mcdonald. Bisa saja, mengkonsumsi hidangan fast food Mcdonald menjadi vested interest bagi kebanyakan orang nantinya dan makanan seperti gado-gado, ketoprak, sayur gudeg, es dawet dianggap sebuah pembaruan yang sulit diterima oleh mereka. Dan bila itu terjadi, fast food ala barat yang seharusnya menjadi counter-culture dan makanan lokal yang seharusnya merupakan sub-culture, bisa bertukar posisi.

Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa suatu perusahaan asing terbang bukan hanya masuk kedaram perut suatu bangsa, tetapi juga menyentuh budaya yang ada. Lalu bagaimanakah nasib restoran-restoran padang dan warung-warung masakan indonesia lainya—yang notabennya sepenuhnya milik pribumi—bila setiap orang indonesia hanya menyukai makanan fast food ala barat? Adilkah bila kita membayangkan bahwa ekonomi dan budaya bangsa kita dikuasai oleh tangan-tangan kapitalis negara lain sampai menyulitkan eksistensi wirausahawan-wirausahawan pribumi sekaligus kesejahteraannya pekerjanya?


Wilayah dunia semakin dipersempit

Al. Andang L. Binawan dalam esainya yang berjudul Hukum di Pusar Pasar: Keadilan Sosial yang Memudar, menuliskan bahwa, “Ciri dari pasar global menunjuk bahwa adaanya saling keterikaitan antara suatu kejadian, khususnya dalam konteks transaksi, di suatu belahan dunia ini dengan yang terjadi di belahan lain.” Beliau memberi contoh bahwa apa yang terjadi di Wall Street, New York bisa mempeengaruhi langsung pedagang tradisional di negri ini. Bila nilai dollar AS naik drastis tentu harga barang dagangan tukang cendol di salah satu pasar di Indonesia akan naik pula sambungnya. Kita dapat melihat bahwa jarak wilayah di dunia ini seperti sudah memendek sampai-sampai suatu kejadian pada suatu wilayah tertentu, mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung suatu wilayah yang lain yang berjarak beratus-ratus mil sekalipun.

Di awal tahun ini, rakyat Indonesia dikagetkan dengan kenaikan harga sembako. Salah satunya bahan makanan yang mengandung kedelai seperti tempe dan kecap. Menurut logika orang awam mengapa harga kedelai bisa naik padahal indonesia mempunyai banyak perkebunan kedelai yang terhampar disetiap pulau-pulau di Indonesia. Setelah diselidiki, produksi kedelai Indonesia hanya bisa mencukupi 30% dari yang dibutuhkan oleh rakyat indonesia. Darimana sisannya? 70% sisanya dari hasil impor negara lain dan salah satunya dari AS. AS menaikan harga kedelainnya karena di negara itu ada peralihan penggunaan bahan bakar dari tenaga fosil ke tenaga nabati yang mengharuskan pengurangan lahan pertanian dan perkebunan termasuk kedelai. Dan akhirnya berdampak langsung ke penjualan tempe dan kecap di pasar induk, pasar minggu dan pasar-pasar yang lain di pelosok Indonesia.

Penyimpitan wilayah dunia juga dapat dilihat dari persamaan rasa, karsa dan karya(atau bisa disebut budaya) setiap bangsa yang ada menuju ke budaya global. Salah satu contohnya adalah penyebaran satu aliran musik tertentu ke hampir seluruh pelosok dunia sampai “hingar-bingar”-nya terdengar di kota dan desa di Indonesia. Anak-anak muda Indonesia menyanyikan lagu asing yang sama yang ada di top chart MTV.Lalu musik-musik modern itu yang berkiblat pada salah satu negara pencetus neoliberalisme, yaitu Amerika Serikat, meluas ke arah fashion dan life-style. Anak –anak muda dari kota sampai desa dengan bangga memamerkan rambut mullet ala Jarika(Japan-Amerika) sampai sepatu compang-camping ala rock n’ roll. Perkembangan jenis musik Punk Rock, Nu Metal, Gothic, Emo Rock, sampai yang terbaru seperti musik retro new wave plus rock n’ roll , selalu diikuti dengan perkembangan gaya rambut dan berpakaian yang khas dari masing-masing jenis musik tersebut. Dan semua itu adalah salah satu produk budaya AS yang bisa dijual dalam rangka memeriahkan zaman neoliberalisme ini.


Hasrat Konsumerisme tanpa diimbangi Produktivitas

Bau neoliberalisme adalah wangi bunga bila dihirup oleh negara-negara maju. Karena bau itu meberikan keuntungan dan kemakmuran yang sangat melimpah khususnya bagi perusahaan-perusahaan transnasional yang ada di dalamnya. Tapi bagaimana dengan negara berkembang sekaligus miskin yang ada di hamparan dunia?

Tangan-tangan kapitalis tentu mengerti bahwa negara berkembang adalah pasar paling sempurna bagi penjualan produk-produk baik barang maupun jasa. Karena tingkat konsumerismenya yang tinggi tidak diiringi dengan sikap menghasilkan atau produktif. Maka, terbentuklah masyarakat yang hanya mau “membeli” tanpa—walaupun hanya rasa—menghasilkan. Biarpun ada yang menghasilkan, produk yang dihasilkan pun “tertendang” jauh oleh buatan asing. Masyarakat Indonenesia seperti boneka yang secara langsung maupun tidak langsung digerakkan oleh perusahaan-perusahaan raksaksa asing yang selalu ‘memaksa’ kita membeli dan mencegah kita untuk menghasilkan produk yang lebih baik dari produk mereka.


Dunia ini Menjadi Hutan Rimba

Yanuar Nugroho mengutip dari majalah The Economist bahwa dalam periode 1975 hingga 1996 ditemukan 1.223 jenis obat baru, namun hanya 13 diantaranya yang dibuat untuk penyakit malaria, demam berdarah, dll. Sisanya adalah obat anti gemuk, obat penghilang kerut wajah, penghalus kulit, dll. Lalu untuk riset obat-obatan juga lebih banyak persentasenya unuk riset kosmetik, anti gemuk dll, ketimbang riset obat AIDS.

Dapat dilihat bahwa masalah kesehatan pun periotas utamanya adalah ‘dagang’. Obat anti-gemuk dan kosmetik dianggap lebih dapat dijual ketimbang obat untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Maka obat deman berdarah dan malaria lebih sedikit jenisnya dan bisa disebut langka dibandinggan dengan obat kecantikan. Lalu karena langkanya obat-obatan itu maka menjadi mahal harganya. Belum lagi ditambah masalah hak paten yang diatur oleh WTO(World Trade Organiization) dan penyebarannya yang tak merata untuk setiap negara, tambah membuat obat-obatan itu di’bisnis’kan. Bila yang menderita sakit adalah orang yang berkecukupan, mungkin masalah ini tidak menjadi beban, tetapi bagaimana bila yang menderita sakit adalah orang miskin? Dunia sekarang tambah terlihat seperti hutan rimba dimana kita manusia harus menjalankan hukum di dalamnya: Yang kuat bertahan yang lemah terkubur.


Simpulan

Proses penanaman globalisasi yang merupakan perwujudan dari paham neoliberalisme sudah terjadi puluhan tahun lamannya. Perusahaan-perusahaan dari negara-negara pencetus neoliberalisme mengembangkan sayapnya untuk terbang ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dan berjualan produk berupa barang sampai budaya yang memaksa masyarakat indonesia untuk membelinya.

Bila ditannya siap atau tidak bangsa Indonesia menghadapi zaman neoliberalis ditengah gencarnya persaingan pasar dunia yang semakin menggila, kita hanya menjawab belum. Keterbatasan produktivitas dalam negri yang diiringi tingkat konsumsi yang tinggi membuat bangsa kita hanya mendapat kerugian yang telak dibandingkan negara maju yang berproduksi tinggi. Terbuka lebarnya pintu impor di negara kita, membuat negara kaya ini dapat dikuasai raksaksa asing dengan mudah. Apa jadinya nanti bila harga kebutuhan pokok dansektor-sektor produksi kita bergantung pada kekuatan asing?

Peran pemerintah sangat diperlukan untuk menjauhi dampak negatif dari paham neoliberalis ini. Kerjasama antara pemerintah dan rakyat untuk meningkatkan hasil produksi(baik kualitas maupun kuantitasnya) juga diperlukan agar bisa bersaing dengan prodik asing dan juga mengurangi ketergantungan kita kepada negara maupun perusahaan asing.

(Tulisan ini pernah diterbitkan di majalah Retorika tahun 2008)

Indra Wahyu Pratama

Pimpinan Umum LPM Retorika

Read More....

Merokok itu HAM?

Bagi anda yang merasa perokok yang biasa merokok tanpa lihat sekelilingnya pasti merasa geram pada saat menonton tayangan Joni Pantau edisi Minggu, 10 Agustus 2008. Pasalnya pada edisi tersebut Si Joni Pantau sedang “memantau” masalah merongkok di tempat umum(kususnya di daerah Jakarta) yang seharusnya tidak ada lagi karena larangan akan itu sudah diatur dalam Perda DKI Jakarta. Namun, kenyataanya peraturan hanya tetap menjadi “hitam diatas putih”, sedangkan asap rokok masih tetap mengepul di depan hidung orang-orang anti rokok yang diantaranya ada ibu hamil, anak sekolah, bahkan anak balita.
Tulisan ini tidak mengomentari masalah pelaksaan peraturan tersebut yang hanya menjadi das solen saja. Tetapi saya hanya ingin membuat para perokok sedikit berfikir. Dalam tayangan tersebut ada yang membuat saya tergelitik. Yaitu saat Joni Pantau mendapati ada yang merokok di area parkir rumah sakit. Tentunya itu juga menyalahi aturan. Namun, salah satu diantara mereka, yaitu seorang bapak berusia 50 tahunan dengan bermuka sinis tidak stuju ketiga Joni pantau menanyai mereka. Ia berdalih bahwa merokok itu tidak salah dan merokok adalah HAM. Lalu Joni menayai bagaimana bila merokoknya didepan umum dan apa bapak itu tidak mengesihani orang-orang sekeliling yang tidak merokok. Bapak itu menjawab, “Lebih kasihan lagi orang-orang yang hartanya diambil”(@#$^%$). Jawaban yang cukup singat dan cukup tidak nyambung. Mungkin karena otak bapak yang katanya sudak merokok sejak duduk di bangku kelas 3 sd itu memang sudah penuh racun nikotin.
Masih banyak orang-orang seperti bapak “kritis” tersebut yang hidup di kota Jakarta ini. Dan untuk mereka, saya hanya ingin berpendapat merokok memang HAM. Tetapi untuk tidak menghisap asap rokok dari orang yang mertokok juga HAM. Bagi para perokok yang ingin merokok sepuasnya tidak akan diganggu oleh kami para pembenci rokok. Begitu juga dengan kami pembenci rokok tidak mau diganggu oleh pengguna rokok. Jadi, bila ingin merokok, silakan menjauh dari tempat umum.

Indra Wahyu Pratama
Read More....

Tentang Retorika

Lembaga Pers Mahasiswa Retorika merupakan sebuah lembaga mahasiswa yang bergerak di bidang jurnalistik, sebagai entitas pemberian ruang kepada mahasiswa Fakultas Hukum Univesitas Pancasila dalam penggalian dan pengembangan potensi yang dimiliki. Pemberian ruang ekspresi ini menjadi kebutuhan mahasiswa mengingat proses pendewasaan diri, penanaman idealisme maupun ekspresi atas kreatifitas tidaklah cukup didapat di ruang kuliah saja. Selain itu, dalam konteks lebih luas, maka dapat pula dikatakan bahwa LPM RETORIKA adalah ruang dialektika bagi setiap mahasiswa. Retorika sebagai ruang belajar adalah sebuah entitas dan identitas tersendiri bagi mahasiswa. Sebuah ruang kritis dan pengkritisan baik internal maupun eksternal. Dengan segala keunikannya Retorika tetap mampu berdiri dan eksis. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana sebuah Retorika mampu menjalankan perannya sebagai sebuah Lembaga Pers Mahasiswa
Read More....

  • Tentang Retorika

    Lembaga Pers Mahasiswa Retorika merupakan sebuah lembaga mahasiswa yang bergerak di bidang jurnalistik, sebagai entitas pemberian ruang kepada mahasiswa Fakultas Hukum Univesitas Pancasila dalam penggalian dan pengembangan potensi yang dimiliki. Pemberian ruang ekspresi ini menjadi kebutuhan mahasiswa mengingat proses pendewasaan diri, penanaman idealisme maupun ekspresi atas kreatifitas tidaklah cukup didapat di ruang kuliah saja. Selain itu, dalam konteks lebih luas, maka dapat pula dikatakan bahwa LPM RETORIKA adalah ruang dialektika bagi setiap mahasiswa. Retorika sebagai ruang belajar adalah sebuah entitas dan identitas tersendiri bagi mahasiswa. Sebuah ruang kritis dan pengkritisan baik internal maupun eksternal. Dengan segala keunikannya Retorika tetap mampu berdiri dan eksis. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana sebuah Retorika mampu menjalankan perannya sebagai sebuah Lembaga Pers Mahasiswa.