Ibarat wajah manusia,
Wajah Jakarta semakin tua. Semua akibat dari setiap sebab sudah cukup terlihat. Jarang kita temui lagi sumber air yang bersih. Sungai penuh sampah-sampah bermacam jenis. Laut penuh kontaminasi zat-zat perusak dari hasi industri. Udara sudah cukup di taburi gas-gas beracun yang siap menginfeksi paragenerasi muda. Ruang
Pemerintah adalah suatu jalan keluar untuk menghentikan sebuah proses penghancuran ini. Dengan segala wewengannya pemerintah dapat mengurangi segala dampak yang kita rasakan sekarang dan anak-cucu kia nanti. Mungkin jalurnya dengan merestrukturisasi aspek poitik, hukum. sosial, dan budaya yang peduli terhadap lingkungan. Dan semua pihak yang terkait pun harus bertipe ekoseksual, yaitu berwawasan lingkungan.
Setiap perjalanan jauh memerlukan langkah awal. Dan langkah awal pasti bersumber dari kesadaran diri sendiri. Kita sebagai mahasiswa, yaitu kaum perubah.harus mengambil langkah awal pasti untuk menggerakan perubahan ini. Perubahan dimana alam akan bersahabat lagi dengan manusia, bencana tak datang lagi melanda, dan kesejahteraan ekonomi dapat teraih tanpa keserakahan. Tugas kita semua untuk melakukannya, ya tugas MAHASISWA para manusia muda...
(Indra Wahyu Pratama)
(Indra W. Pratama)
At least since 1970s, neoliberalism has spread throughout much of the world, and has become the dominant "ideology" behind development policies in many countries, including
(“Monthly Discussion: Neoliberalism, The State, and the Citizen.” http://interseksi.org 2007)
Globalisasi seperti orang awam kebanyakan tahu adalah suatu keadaan dunia dimana batasan-batasan negara hilang yang membuat lalu lintas perdagangan dan informasi antar negara berjalan mudah. Globalisasi diindikasikan dan diidentikan dengan free market, yang membuat sebagian orang didunia ini tersenyum dan sebagian lagi menjerit histeris bila memndengarnya. Free market sendiri adalah sebuah manifestasi dari suatu paham yang bernama neoliberalisme. Neoliberalisme adalah suatu kenyataan dalam dunia modern ini yang mau tidak mau atau suka tidak suka diterima oleh suatu negara.
Seorang peneliti
Kita ambil contoh restoran dari Amerika Serikat bernama Mcdonald yang sekarang ini sudah menjadi salah satu perusahaan raksaksa di dunia dan merupakan perusahaan restoran cepat saji terkaya di dunia.. Secara sadar atau tidak sadar,dari pertama kemunculannya, bangsa
Penanaman budaya ini tidak “sekali jadi”. Tetapi melalui proses-proses yang bisa dibilang hebat. Mcdonald melakukan pedekatan pada anak-anak kecil—hingga mereka tidak bisa lepas pikirannya dengan restoran itu—dengan berbagai macam promosi seperti iklan, paket mainan, dan acara ulah tahun. Yang akhirnya mereka merengek mengajak kluarganya untuk pergi makan di restoran itu. Lalu mereka tidak dapat lepas sampai dewasa untuk mengkonsumsi Mcdonald. Bisa saja, mengkonsumsi hidangan fast food Mcdonald menjadi vested interest bagi kebanyakan orang nantinya dan makanan seperti gado-gado, ketoprak, sayur gudeg, es dawet dianggap sebuah pembaruan yang sulit diterima oleh mereka. Dan bila itu terjadi, fast food ala barat yang seharusnya menjadi counter-culture dan makanan lokal yang seharusnya merupakan sub-culture, bisa bertukar posisi.
Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa suatu perusahaan asing terbang bukan hanya masuk kedaram perut suatu bangsa, tetapi juga menyentuh budaya yang ada. Lalu bagaimanakah nasib restoran-restoran
Wilayah dunia semakin dipersempit
Al. Andang L. Binawan dalam esainya yang berjudul Hukum di Pusar Pasar: Keadilan Sosial yang Memudar, menuliskan bahwa, “Ciri dari pasar global menunjuk bahwa adaanya saling keterikaitan antara suatu kejadian, khususnya dalam konteks transaksi, di suatu belahan dunia ini dengan yang terjadi di belahan lain.” Beliau memberi contoh bahwa apa yang terjadi
Di awal tahun ini, rakyat
Penyimpitan wilayah dunia juga dapat dilihat dari persamaan rasa, karsa dan karya(atau bisa disebut budaya) setiap bangsa yang ada menuju ke budaya global. Salah satu contohnya adalah penyebaran satu aliran musik tertentu ke hampir seluruh pelosok dunia sampai “hingar-bingar”-nya terdengar di
Hasrat Konsumerisme tanpa diimbangi Produktivitas
Bau neoliberalisme adalah wangi bunga bila dihirup oleh negara-negara maju. Karena bau itu meberikan keuntungan dan kemakmuran yang sangat melimpah khususnya bagi perusahaan-perusahaan transnasional yang ada di dalamnya. Tapi bagaimana dengan negara berkembang sekaligus miskin yang ada di hamparan dunia?
Tangan-tangan kapitalis tentu mengerti bahwa negara berkembang adalah pasar paling sempurna bagi penjualan produk-produk baik barang maupun jasa. Karena tingkat konsumerismenya yang tinggi tidak diiringi dengan sikap menghasilkan atau produktif. Maka, terbentuklah masyarakat yang hanya mau “membeli” tanpa—walaupun hanya rasa—menghasilkan. Biarpun ada yang menghasilkan, produk yang dihasilkan pun “tertendang” jauh oleh buatan asing. Masyarakat Indonenesia seperti boneka yang secara langsung maupun tidak langsung digerakkan oleh perusahaan-perusahaan raksaksa asing yang selalu ‘memaksa’ kita membeli dan mencegah kita untuk menghasilkan produk yang lebih baik dari produk mereka.
Dunia ini Menjadi Hutan Rimba
Yanuar Nugroho mengutip dari majalah The Economist bahwa dalam periode 1975 hingga 1996 ditemukan 1.223 jenis obat baru, namun hanya 13 diantaranya yang dibuat untuk penyakit malaria, demam berdarah, dll. Sisanya adalah obat anti gemuk, obat penghilang kerut wajah, penghalus kulit, dll. Lalu untuk riset obat-obatan juga lebih banyak persentasenya unuk riset kosmetik, anti gemuk dll, ketimbang riset obat AIDS.
Dapat dilihat bahwa masalah kesehatan pun periotas utamanya adalah ‘dagang’. Obat anti-gemuk dan kosmetik dianggap lebih dapat dijual ketimbang obat untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Maka obat deman berdarah dan malaria lebih sedikit jenisnya dan bisa disebut langka dibandinggan dengan obat kecantikan. Lalu karena langkanya obat-obatan itu maka menjadi mahal harganya. Belum lagi ditambah masalah hak paten yang diatur oleh WTO(World Trade Organiization) dan penyebarannya yang tak merata untuk setiap negara, tambah membuat obat-obatan itu di’bisnis’
Simpulan
Proses penanaman globalisasi yang merupakan perwujudan dari paham neoliberalisme sudah terjadi puluhan tahun lamannya. Perusahaan-perusahaan dari negara-negara pencetus neoliberalisme mengembangkan sayapnya untuk terbang ke negara-negara berkembang, termasuk
Bila ditannya siap atau tidak bangsa
Peran pemerintah sangat diperlukan untuk menjauhi dampak negatif dari paham neoliberalis ini. Kerjasama antara pemerintah dan rakyat untuk meningkatkan hasil produksi(baik kualitas maupun kuantitasnya) juga diperlukan agar bisa bersaing dengan prodik asing dan juga mengurangi ketergantungan kita kepada negara maupun perusahaan asing.
Tulisan ini tidak mengomentari masalah pelaksaan peraturan tersebut yang hanya menjadi das solen saja. Tetapi saya hanya ingin membuat para perokok sedikit berfikir. Dalam tayangan tersebut ada yang membuat saya tergelitik. Yaitu saat Joni Pantau mendapati ada yang merokok di area parkir rumah sakit. Tentunya itu juga menyalahi aturan. Namun, salah satu diantara mereka, yaitu seorang bapak berusia 50 tahunan dengan bermuka sinis tidak stuju ketiga Joni pantau menanyai mereka. Ia berdalih bahwa merokok itu tidak salah dan merokok adalah HAM. Lalu Joni menayai bagaimana bila merokoknya didepan umum dan apa bapak itu tidak mengesihani orang-orang sekeliling yang tidak merokok. Bapak itu menjawab, “Lebih kasihan lagi orang-orang yang hartanya diambil”(@#$^%$). Jawaban yang cukup singat dan cukup tidak nyambung. Mungkin karena otak bapak yang katanya sudak merokok sejak duduk di bangku kelas 3 sd itu memang sudah penuh racun nikotin.
Masih banyak orang-orang seperti bapak “kritis” tersebut yang hidup di kota Jakarta ini. Dan untuk mereka, saya hanya ingin berpendapat merokok memang HAM. Tetapi untuk tidak menghisap asap rokok dari orang yang mertokok juga HAM. Bagi para perokok yang ingin merokok sepuasnya tidak akan diganggu oleh kami para pembenci rokok. Begitu juga dengan kami pembenci rokok tidak mau diganggu oleh pengguna rokok. Jadi, bila ingin merokok, silakan menjauh dari tempat umum.
Indra Wahyu Pratama